BAB I PENDAHULUAN
Makalah ini berisi tentang pembahasan masalah system ekonomi Islam, zakat, infaq, shodaqoh dan waqaf. Masalah beramal ini perlu mendapat perhatian yang lebih, baik dalam kalangan mahasiswa maupun masyarakat. Karena masalah ini berkaitan erat dengan jiwa social yang dimiliki oleh setiap insan cita.
Seorang muslim atau insan kamil itu dia mampu mengabdikan dirinya dengan penuh kepasrahan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, selalu patuh dengan segala perintah-Nya, mampu menahan diri untuk tidak berbuat yang tidak sesuai dengan syariat serta dia juga harus mampu untuk berguna bagi dirinya, keluarganya dan orang lain.
Insan cita sebagai homo economicus, homo socious, homo politicus dan homo religus itu harus mampu menyelaraskan atau menyeimbangkan fungsinya sebagai khalifah di bumi.
Manusia sebagai homo socious atau makhluk social, bahwa manusia itu mustahil dalam menjalani hidupnya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Karena pada dasarnya manusia tidak mampu semata-mata mengandalkan kekuatannya sendiri dan dia mutlak masih harus membutuhkan orang lain. Manusia sebagai homo economicus, bahwa manusia itu memiliki 3 hal penting didalam dirinya yang meliputi penalaran, kepentingan dan informasi. Manusia sebagai homo politicus atau makhluk politik adalah manusia itu selalu berupaya untuk mencoba hal-hal yang terbaik bagi lingkungan masyarakat dimana ia tingla. Dan manusia sebagai homo religius adalah manusia itu membutuhkan kelengkapan rohaniah untuk menenangkan jiwanya yang cenderung tidak pernah puas dengan tuntutan kebutuhan materi setiap harinya.
Insan kamil ia mampu menyeimbangkan posisi dirinya sebagai makhluk soial ekonomi dan sebagai insan yang religius. Dimana ia tidak hanya memikirkan duniawi saja melainkan akhirat juga menjadi beban dalam fikirannya. Ia senantiasa berjiwa social, mampu berguna bagi orang lain, sikap saling tolong menolong selalu tertanam dalam dirinya dan tentunya tanpa meninggalkan ibadah mahdah maupun ghairu mahdah serta berakhlakul karimah.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
SISTEM EKONOMI ISLAM, ZAKAT,
INFAK, SHODAQOH DAN WAKAF
- SISTEM EKONOMI ISLAM
Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan system-sistem ekonomi lainnya(kapitalis, sosialis,dsb). System ekonomi Islam lahir dari sumber wahyu sedang yang lain datang dari sumber akal. Cirri-ciri system ekonomi Islam meliputi ;
¨ Memelihara fitrah manusia
¨ Memelihara norma-norma akhlak
¨ Memenuhi keperluan-keperluan masyarakat
Kegiatan ekonomi Islam memiliki cita-cita luhur, yaitu bertujuan berusaha untuk mencari keuntungan individu disamping melahirkan kebahagiaan bersama bagi masyarakat. Aktivi-aktivi ekonomi Islam senantiasa diawasi oleh hokum-hukum islam dan pelaksanaanya dikawal pula oleh pihak pemerintah. Ekonomi islam menseimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Menurut Zallum (1983), Az-Zain (1981) , An-Nabbaniy (1990), dan Abdullah (1990) menyatakan bahwa Azaz-azaz yang membangun system ekonomi islam terdiri atas 3 azaz yaitu ;
ü Bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan ( Al-Milkiya )
ü Bagaimana pengelolaan kepemilikian harta ( Tasharruf Fil Milkiyah )
ü Bagaimana distribusi kekayaan ditengah masyarakat ( Tauzi’ul Tsarwah Bayna An-Naas )
SISTEM EKONOMI ISLAM MENURUT KEHENDAK TUHAN
TRIDAYA ; MUFAKAT, ADIL DAN AMANAH
Diatas telah dijelaskan bahwa ekonomi Islam adalah berpadukan wahyu dari Allah dan yang lainnya dari hasil ciptaan akal manusia. System ciptaan akal manusia ini hanya mengambil kira perkara-perkara lahiriah semata-mata tanpa menitikberatkan soal hati, roh, dan jiwa manusia.Hasilnya matlamat lahiriah itu sendiri tidak tercapai dan manusia menderita dan tersiksa karenanya.
Selain itu berlaku pula penindasan, penekanan, dan ketidak adilan. Yang kaya tambah kaya dan yang miskin tambah miskin. Ekonomi Islam pula Sangat berbeda.
CIRI-CIRI EKONOMI ISLAM
- MELIBATKAN TUHAN
Orang Islam berekonomi dengan niat karena Allah dan mengikuti peraturan dan hukum-hukum Allah Taala. Matlamatnya ahíla untuk mendapatkan ridha dan kasih sayang Allah. Syariat lahir dan batin ditegakkan dan hati tidak lalai dari mengingat Allah.Aktivi berniaga dianggap dzikir dan ibadah kepada Allah SWT. Ia adalah jihad fisabilillah dan menjadi suatu perjuangan untuk menegakkan islam dan mengajak manusia kepada Allah. Sesibuk manapun berniaga, Allah tidak ia lupakan. Berekonomi dan berniaga secara Islam adalah diantara jalan untuk menambah bekalan taqwa.
- BERLANDASKAN TAQWA
Kegiatan ekonomi dalam Islam merupakan jalan untuk mencapai taqwa dan melahirkan akhlak yang mulia. Ini adalah tuntutan Tuhan. Kalau dalam sistem ekonomi kapitalis, modalnya duit untuk mendapatkan duit. Tetapi dalam ekonomi Islam modalnya taqwa untuk mendapatkan taqwa.
Dalam Islam berekonomi adalah untuk memperbesar, memperpanjang dan memperluaskan syariat Allah. Ekonomi itu jihad dan ibadah. Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari konsep dan syariat-syariat ibadah ,hiatnya pelaksanaan dan natijahnya kena betul. Kegiatan ekonomi/ perniagaan yang dibuat itu tidak haram dan tidak melibatkan perkara-perkara yang haram. Ibadah asas seperti sholat, puasa, dll tidak boleh ditinggalkan. Kalau sholat ditinggalkan, ibadah berekonomi sepertimana juga ibadah-ibadah lain akan dengan sendirinya bertolak.
Hasil dari ekonomi yang berlandaskan taqwa akan lahir ukhuwah, kasih sayang, kemesraan, bertolong Bantu, bersopan santun, mendahulukan kepentingan orang lain dan berbagai lagi sifat-sifat yang luhur. Premis perniagaan berasakan taqwa adalah pusat bina insan yang cukup praktikal dan menguntungkan. Semua yang terlibat dengan kegiatan ekonomi Islam ini akan menjadi tawadhuk dan rendah diri. Akan terhapus penindasan, penekanan, pendzaliman dan ketidak adilan. Tidak ada crisis pengaduhan dan jenayah, ketakutan dan kebimbangan akan lenyap. Akhirnya masyarakat jadi aman, damai, dan hidup penuh harmoni. Ekonomi Islam lebih mementingkan sifat taqwa, daripada keuangan yang besar. Ilmu, pengalaman, kemahiran, kekayaan alam semula jadi dan sebagiannya. Orang yang bertaqwa itu dibantu Tuhan seperti dalam Firman-Nya, yang maksudnya “ Allah itu pembela bagi orang-orang yang bertaqwa “ ( al-Jasiyah : 19 )
Orang yang bertaqwa itu, usahanya sedikit tetapi hasilnya banyak. Apalagi kalau usahanya banyak ? Kalau orang yang bertaqwa menghadapi masalah, Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan dia diberi rezeki oleh Allah dari sumber-sumber yang tak disangka-sangka.
- PENUH SUASANA KEKELUARGAAN
Dalam premis perniagaan Islam dimana ada Tuan punya pengurus dan pekerja yang terjalin kemesraan dan kasih sayang seperti dalam satu keluarga. Pengurus seperti Ayah, penyelia-penyelia seperti kayak dan abang. Para pekerja seperti anak. Ayah menjaga keperluan anak-anak. Ini termasuk didikan agama, makan minum, keselamatan, kesehatan, pakaian, tempat tinggal, kebajikan dan lain-lain.
- PENUH KASIH SAYANG
Islam menganggap berekonomi itu beribadah. Yaitu Ibadah menerusi khidmat kita kepada sesama manusia. Manusialah yang Tuhan tuntut supaya kita berkasih sayang dengan mereka. Justru itu pelanggan/ ahli-ahli masyarakat tidak dilihat seperti orang lain bahkan dianggap saudara-mara.
Pelanggan yang datang kepada premis perniagaan dilayan sebaik mungkin seperti tetamu. Maka mereka datang membawa Ramat dan kembalinya menghapuskan dosa. Pelangganlah tempat mereka menaruh bhakti dan khidmat. Pelanggan jugalah orang yang membantu mereka memperbaiki dan mendidik hati. Oleh karena itu, pelanggan sungguh mal dan sungguh istimewa. Mereka diberi kemesraan dan kasih sayang.
Berbakti dan khidmat bukan setakat memberi pelanggan apa yang mereka mau. Ia termasuk pembelaan dan kebajikan. Kalau ada pelanggan yang memerlukan barangan dengan khidmat tetapi nyata tidak mampu membayar harganya, demi Tuhan yang mengurniakan kasih sayang, dia dibolehkan membayar ikut sesuka hatinya. Kalau dia fakir dan miskin hingga tidak mampu bayar langsung. Maka menjadi tanggung jawab pihak yang berniaga pulalah yang memberikan keperluanya itu dengan percuma. Tuhanlah yang akan membayarkan untuknya. Inilah ekonomi taqwa dan kasih sayang.
Dalam ekonomi kapitalis, tidak ada kasih sayang. Mereka hanya maukan duit para pelanggan. Janganlah hemdak membantu manusia. Bahkan mereka sanggup mengusahakan, menekan, menindas dan mampu manusia demi mengejar keuntungan.
- KEUNTUNGAN PERNIAGAAN UNTUK MASYARAKAT
Dalam ekonomi islam, keuntungan adalah 2 bentuk :
- Keuntungan maknai
- Keuntungan maddi ( material )
Islam mengajar ahli ekonomi dan perniagaan untuk mengutamakan untung maknawi daripada untung material. Kalaupun ada keuntungan material, ia perlu dihalalkan semula dan diperguna untuk kepentingan masyarakat. Islam tidak menganjurkan keuntungan material ditumpu pada diri sendiri. Keluarga atau golongan. Keuntungan boleh diambil sekedar perlu tetapi selebihnya mesti dikembalikan kepada Tuhan melalui bantuan kepada fakir miskin dan masyarakat. Inilah apa yang dikatakan bersyukur.
Ekonomi Islam lebih mementingkan khidmat kepada masyarakat daripada mengumpulkan keuntungan material yang besar. Keuntungan material kalaupun ada perlu disalurkan semula kepada masyarakat. Tidak ada orang yang miskin karena beramal, yang ada malahan hartanya bertambah berkah. Kita memang dianjurkan untuk saling peduli kepada ssesama Amat.
- TIDAK ADA HUTANG BERUNSUR RIBA
Islam tidak membenarkan riba. Yaitu pinjaman berfaedah(berbunga) tetap untuk jangka masa yang tertentu. Islam ada cara tersendiri untuk mengana model dan keuangan.diantaranya seperti bentuk-bentuk kerja sama ekonomi dalam Islam yang meliputi ;
Þ Syirkah à perseroan atau persekutuan. Persekutuan antara 2 orang atau lebih yang bersepakat untuk bekerja sama dalam suatu usaha. Yang keuntungan dan hasilnya untuk kesejahteraan bersama.
Þ Mudarabah à disebut juga Qirad yang artinya pemberian modal dari pemilik modal kepada seseorang yang akan memperdagangkan modal itu, dengan ketentuan bahwa untung rugi ditanggung bersama sesuai dengan perjanjian antara keduanya waktu akad. Hukumnya mubah, boleh.
Þ Muzara’ah à kerja sama bagi hasil sawah atau ladang antara pemilik dengan penggarap, sedangkan venilla dari pemilik.
Þ Mukhabarah à kerja sama bagi hasil sawah atau ladang antara pemilik dan penggarap sedangkan venilla berasal dari penggarap
Þ Musaqah à paruhan hasil kebun antara pemilik dan penggarap. Besar bagian masing-masinnya sesuai perjanjian pada waktu akad
Þ Kemudian ada lagi sitem ekonomi yang lagi Marak saat ini, adalah perbankan islami yang terrenal sebagai Bank Syari’ah. Perbankan ini didasarkan pada prinsip Islam merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist.
Þ Adapun Asuransi Islam adalah perjanjian antara penanggung ( perusahaan asuransi ) dan seseorang yang mempertanggungjawabkan sesuatu (peserta perusahaan asuransi). Dalam periode tertentu , misalnya; setiap bulan, peserta berkewajiban membayar premi kepada perusahaan asuransi sesuai perjanjian. Sedangkan kewajiban perusahaan asuransi memberi uang sebesar perjanjian ( polis ).
Riba mencetus berbagai masalah crisis, ia Sangay menekan, menindas, mencekik, si peminjam. Si peminjam boleh terjerat dalam satu ikatan yang dia tidak mampu ungkaikan atau terjatuh kedalam lubang yang dia tidak mampu keluar. Orang yang memberi pinjaman riba menjadi kaya tanpa usaha. Dia menjadi kaya atas titik peluh orang lain. Riba dalam ekonomi membuatkan harga barang dan khidmat menjadi tinggi karena, untung lebih dipaksa dicari untuk membayar kadar faedah riba. Usaha ekonomi yang berasaskan riba juga tertakluk kepada tekanan karena lagi lama pinjaman tidak dibayar , lagi banyak pula faedah atau bunganya.
- ZAKAT
Etimologi
Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.
Sejarah Zakat
Setiap umat Muslim berkewajiban untuk memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Al-Qur’an. Pada awalnya, Al-Qur’an hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar. Syari’ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para kalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi.
Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu[rukun Islam], dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah, seperti:salat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Yang berhak menerima
- Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
- Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
- Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
- Muallaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
- Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
- Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
- Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
- Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
Yang tidak berhak menerima zakat
- Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
- Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
- Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
- Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
- Orang kafir.
Beberapa Faedah Zakat
Faedah Diniyah (segi agama)
Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
- Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
- Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
- Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
- Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
- Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
- Untuk pengembangan potensi ummat
- Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
- Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Zakat dalam Al Qur'an
- QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
- QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
- QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
C. INFAK
Kata infak adalah kata serapan dari bahasa Arab: al-infâq. Kata al-infâq adalah mashdar (gerund) dari kata anfaqa–yunfiqu–infâq[an]. Kata anfaqa sendiri merupakan kata bentukan; asalnya nafaqa–yanfuqu–nafâq[an] yang artinya: nafada (habis), faniya (hilang/lenyap), naqasha (berkurang), qalla (sedikit), dzahaba (pergi), kharaja (keluar). Karena itu, kata al-infâq secara bahasa bisa berarti infâd (menghabiskan), ifnâ’ (pelenyapan/pemunahan), taqlîl (pengurangan), idzhâb (menyingkirkan) atau ikhrâj (pengeluaran).1
Kata al-infâq pada galibnya digunakan untuk harta, meski menurut ar-Raghib bisa digunakan untuk harta maupun yang lain. Jika dikatakan anfaqa mâlahu (ia menginfakkan hartanya) artinya afnâhu wa anfadahu (ia menghabiskan dan melenyapkan hartanya). Harta itu habis karena ia keluarkan untuk keperluannya. An-Nawawi berkata, 2 “An-Nafaqah berasal dari al-infâq yang artinya adalah ikhrâj (pengeluaran).” Al-Qurthubi dan ar-Razi mengatakan,3 “Al-Infâq adalah ikhrâj al-mâl min al-yadd (pengeluaran harta dari tangan/kepemilikan). Karena hartanya habis dan lenyap maka seseorang itu bisa menjadi miskin. Jika dikatakan, “Anfaqa ar-rajulu,” artinya, “Iftaqara wa dzahaba mâluhu” (Ia menjadi miskin dan hartanya habis/hilang).4
Para ulama mengartikan al-infâq berputar pada pembelanjaan atau pengeluaran harta. Di dalam al-Qâmûs al-Fiqhî, misalnya, al-infâq diartikan sebagai badzlu al-mâl (pembelanjaan harta).5 Dalam Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, selain diartikan badzlu al-mâl, al-infâq juga diartikan sebagai pembelanjaan harta dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok atau yang lain, termasuk di antaranya infak (nafkah) seorang suami kepada istrinya.6 Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan, “Ketahuilah bahwa al-infâq adalah pembelanjaan harta untuk berbagai aspek kepentingan.”
Al-Minawi, mengutip Ibn al-Kamal, menyatakan bahwa al-infâq adalah pembelanjaan harta dalam suatu kebutuhan.7 Al-Jurjani juga mendefinisikan al-infâq sebagai pembelanjaan harta untuk suatu kebutuhan.8 Jadi al-infâq adalah pembelanjaan atau pengeluaran khususnya harta. Pembelanjaan itu tidak lain adalah pengeluaran harta dari kepemilikan kita.
Al-Quran menyebutkan kata anfaqa dan bentukannya sebanyak 72 kali. Semuanya menggunakan makna bahasa di atas. Yang dominan adalah makna pembelanjaan harta. Dari semua itu kata al-infâq hanya dinyatakan satu kali. Allah Swt. berfirman:
قُلْ لَوْ أَنْتُمْ تَمْلِكُونَ خَزَائِنَ رَحْمَةِ رَبِّي إِذًا لَأَمْسَكْتُمْ خَشْيَةَ الْإِنْفَاقِ وَكَانَ الْإِنْسَانُ قَتُورًا
Katakanlah, “Seandainya kalian menguasai berbagai perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kalian tahan, karena takut al-infâq.” Manusia itu sangat kikir. (QS al-Isra’ [17]: 100).
Ibn Abbas menafsirkan kata al-infâq dalam ayat tersebut dengan al-faqru (kemiskinan). Qatadah menafsirkannya al-fâqah (kemelaratan/ketiadaan). Mayoritas mufassir memilih kedua penafsiran tersebut. Adapun menurut al-Baydhawi dan an-Nasafi, khasyyah al-infâq maknanya takut akan lenyap (al-fanâ’) atau habis (an-nafâd) karena di-infâq-kan (dibelanjakan).9
Al-Quran menggunakan kata infâq dalam arti pembelanjaan atau pengeluaran harta secara mutlak, tanpa sifat tertentu, baik pembelanjaan sesuai dengan ketentuan Allah maupun yang disertai riya’ (QS al-Baqarah [2]: 264; an-Nisa’ [4]: 38); bahkan pembelanjaan untuk menghalangi orang dari jalan Allah (QS. al-Anfâl [8]: 36). Semuanya diungkapkan dengan lafazh infâq. Al-Quran tidak pernah menyatakan kata infâq secara berdiri sendiri. Sebaliknya, al-Quran selalu mengaitkan kata infâq dengan indikasi-indikasi (qarînah) yang menjelaskan maknanya. Hal itu mengindikasikan bahwa kata infâq tidak memiliki makna syar‘i.
Panduan Menginfakkan Harta
Syariah telah memberikan panduan kepada kita dalam berinfak atau membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat dan Rasul saw. dalam banyak hadis telah memerintahkan kita agar menginfakkan (membelanjakan) harta yang kita miliki. Allah juga memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS at-Taghabun: 16) serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya (QS ath-Thalaq: 7). Dalam membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan adalah harta yang baik, bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan zakat (QS al-Baqarah [2]: 267). Bahkan Allah Swt. berfirman:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran [3]: 92).
Kemudian Allah menjelaskan bagaimana tatacara membelanjakan harta. Allah Swt. berfirman tentang karakter ’Ibâdurrahmân:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak isrâf dan tidak (pula) iqtâr (kikir); adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. (QS al-Furqan [25]: 67).
Allah Swt. juga berfirman:
وَءَاتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
Berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat haknya, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kalian menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. (QS al-Isra’ [17]: 26).
Ibn Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibn al-Juraij dan kebanyakan mufassir menafsirkan isrâf (foya-foya) sebagi tindakan membelanjakan harta di dalam kemaksiatan meski hanya sedikit. Isrâf itu disamakan dengan tabdzîr (boros). Menurut Ibn Abbas, Ibn Mas‘ud dan jumhur mafassirin, tabdzîr adalah menginfakkan harta tidak pada tempatnya. Ibn al-Jauzi dalam Zâd al-Masîr mengatakan, Mujahid berkata, “Andai seseorang menginfakkan seluruh hartanya di dalam kebenaran, ia tidak berlaku tabdzîr. Sebaliknya, andai ia menginfakkan satu mud saja di luar kebenaran, maka ia telah berlaku tabdzîr.”
Adapun iqtâr maknanya adalah menahan diri dari infak yang diwajibkan atau menahan diri dari infak yang seharusnya. Asy-Syaukani, mengutip ungkapan an-Nihâs, menyatakan, “Siapa saja yang membelanjakan harta di luar ketaatan kepada Allah maka itu adalah isrâf; siapa yang menahan dari infak di dalam ketaatan kepada Allah maka itu adalah iqtâr (kikir); dan siapa saja yang membelanjakan harta di dalam ketaatan kepada Allah maka itulah infak yang al-qawâm.”10
Jadi, yang dilarang adalah isrâf dan tabdzîr, yaitu infak dalam kemaksiatan atau infak yang haram. Infak yang diperintahkan adalah infak yang qawâm, yaitu infak pada tempatnya; infak yang sesuai dengan ketentuan syariah dalam rangka ketaatan kepada Allah; alias infak yang halal. Infak yang demikian terdiri dari infak wajib, infak sunnah dan infak mubah. Infak wajib dapat dibagi:11 Pertama, infak atas diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungan. Kedua, zakat.
Ketiga, infak di dalam jihad. Infak sunnah merupakan infak dalam rangka hubungan kekerabatan, membantu teman, memberi makan orang yang lapar, dan semua bentuk sedekah lainnya. Sedekah adalah semua bentuk infak dalam rangka atau dengan niat ber-taqarrub kepada Allah, yakni semata-mata mengharap pahala dari Allah Swt. Adapun infak mubah adalah semua infak halal yang di dalamnya tidak terdapat maksud mendekatkan diri kepada Allah.
Islam memerintahkan kita agar menginfakkan harta sekaligus menjelaskan tatacaranya. Tentu infak fardhu wajib dilaksanakan. Infak sunnah hendaknya diperhatikan dan diupayakan sesuai kemampuan. Adapun infak mubah sebaiknya tidak diperbanyak, tetapi dilakukan sebatas keperluan saja, dan ditujukan pada yang lebih banyak manfaat daripada madaratnya, sebagai bentuk kewaraan. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
INFAQ DI PAKISTAN
Tujuan utama dari Infaq menurut Islam adalah untuk menjaga keharmonisan ekonomi dalam masyarakat. Infaq membantu kaum miskin dan miskin dalam pemenuhan kebutuhan dasar mereka dan memungkinkan mereka untuk menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab. Nabi Muhammad (SAW) mengambil langkah-langkah untuk memberantas kemiskinan. Dia mendorong pengikutnya untuk memberi sedekah kepada orang miskin dan yang membutuhkan, sehingga mereka (pengikut) mungkin dapat menghindari kekikiran. Khalifah benar-terbimbing dan sahabat lainnya Nabi (saw) bertindak atas ajaran Nabi (saw) dalam hal ini. Sejarah Islam penuh dengan contoh, yang bersaksi atas kebajikan kaum muslimin terhadap yang membutuhkan. Untuk rincian, lihat Syirazi (1994).
Memang benar bahwa tidak ada negara Islam hari ini Dunia Islam mempraktekkan ajaran Islam dalam totalitas mereka. Namun, satu dapat menemukan aplikasi sebagian dari beberapa ajaran Islam di sejumlah negara Muslim. Meskipun nilai-nilai yang tidak Islami dicampur dengan orang Islam, namun semangat Islam tidak sama sekali tidak ada di antara individu-individu, banyak praktek ajaran Islam tentang Infaq dan memberikan amal dan Sadaqat sukarela.
Di Pakistan, bahkan sebelum pembentukan sistem zakat resmi pada tahun 1980, orang-orang memberikan Sadaqat sukarela kepada sanak saudara mereka miskin dan miskin dan tetangga, Deeni madaris (sekolah agama) dan institusi pantas lainnya. Faiz (1992) melaporkan bahwa "di Pakistan, sampai Juni 1980, sistem zakat dipraktekkan pada yaitu, secara sukarela, individu digunakan untuk membayar zakat kepada orang yang membutuhkan atau lembaga pada mereka sendiri tanpa melibatkan pejabat negara".
D. SHODAQOH ATAU SEDEKAH
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
Di dalam Alquran banyak sekali ayat yang menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa memberikan sedekah. Di antara ayat yang dimaksud adalah firman Allah SWT yang artinya:
''Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberi kepadanya pahala yang besar.'' (QS An Nisaa [4]: 114).
Hadis yang menganjurkan sedekah juga tidak sedikit jumlahnya.
Para fuqaha sepakat hukum sedekah pada dasarnya adalah sunah, berpahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Di samping sunah, adakalanya hukum sedekah menjadi haram yaitu dalam kasus seseorang yang bersedekah mengetahui pasti bahwa orang yang bakal menerima sedekah tersebut akan menggunakan harta sedekah untuk kemaksiatan. Terakhir ada kalanya juga hukum sedekah berubah menjadi wajib, yaitu ketika seseorang bertemu dengan orang lain yang sedang kelaparan hingga dapat mengancam keselamatan jiwanya, sementara dia mempunyai makanan yang lebih dari apa yang diperlukan saat itu. Hukum sedekah juga menjadi wajib jika seseorang bernazar hendak bersedekah kepada seseorang atau lembaga.
Menurut fuqaha, sedekah dalam arti sadaqah at-tatawwu' berbeda dengan zakat. Sedekah lebih utama jika diberikan secara diam-diam dibandingkan diberikan secara terang-terangan dalam arti diberitahukan atau diberitakan kepada umum. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi SAW dari sahabat Abu Hurairah. Dalam hadits itu dijelaskan salah satu kelompok hamba Allah SWT yang mendapat naungan-Nya di hari kiamat kelak adalah seseorang yang memberi sedekah dengan tangan kanannya lalu ia sembunyikan seakan-akan tangan kirinya tidak tahu apa yang telah diberikan oleh tangan kanannya tersebut.
Sedekah lebih utama diberikan kepada kaum kerabat atau sanak saudara terdekat sebelum diberikan kepada orang lain. Kemudian sedekah itu seyogyanya diberikan kepada orang yang betul-betul sedang mendambakan uluran tangan. Mengenai kriteria barang yang lebih utama disedekahkan, para fuqaha berpendapat, barang yang akan disedekahkan sebaiknya barang yang berkualitas baik dan disukai oleh pemiliknya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya;
''Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai...'' (QS Ali Imran [3]: 92).
Pahala sedekah akan lenyap bila si pemberi selalu menyebut-nyebut sedekah yang telah ia berikan atau menyakiti perasaan si penerima. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya yang berarti:
''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima.'' (QS Al Baqarah [2]: 264).
E. WAQAF
DEFINISI
Wakaf (Arab: وقف, jamak: اوقاف, awqāf) adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau untuk keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.
Seorang wakif dapat orang-perorangan, organisasi, maupun badan hukum.
PENGERTIAN WAKAF
Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi: 2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376). Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Rukun Wakaf
Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).
Syarat-Syarat Wakaf
1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah; pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu (ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.
4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama, ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
Obyek Wakaf
Obyek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara utuh dan dimiliki secara sah oleh pihak yang akan melakukan wakaf (wakif). Obyek wakaf benda tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atasrumah susun. Sementara untuk obyek wakaf benda bergerak dapat dengan bentuk uang
Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertawan) dan al-man’u (mencegah).
Sedangkan menurut istialah yang dimaksud dengan wakaf sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Muhammad al Syarbini al Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan wakaf ialah “Penahanan harta yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan
(memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.”
- Imam Taqiy al Din Abi Bakr bin Muhammad al Husaini dalam kitab Kifayat al Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.”
- Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah.
- Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekalnya zatnya dan menyerahkannya ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.
A. DASAR HUKUM WAKAF
Adapun yang dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh para ulama, Al Quran surat Al Hajj: 77
Artinya;
Berbuatlah kamu akan kebaikan agar kamu dapat kemenangan.
Dalam ayat lain yaitu surat Ali Imron: 92, Allah berfirman:
Artinya;
Akan mencapai kebaikan bila kamu menyedekahkan apa yang masih kamu cintai.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah ra sesungguhnya Nabi saw bersabda:
Apabila mati seorang manusia, maka terputuslah pahala perbuatannya, kecuali tiga perkara: shodaqoh jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, baik dengan cara mengajar maupun dengan karangan dan anak yang sholeh yang mendoakan orang tuanya.
B. KETENTUAN-KETENTUAN WAKAF
Menurut Ahmad Azhar Basyir berdasarkan hadits yang berisi tentang wakaf Umar ra maka diperoleh ketentuan-ketentuan sbb:
1. Harta wakaf harus tetap (tidak dapat dipindahkan kepada orang lain), baik dijualbelikan, dihibahkan, maupun diwariskan.
2. Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang yang mewakafkannya.
3. Tujuan wakaf harus jelas (terang) dan termasuk perbuatan baik menurut ajaran agama Islam.
4. Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam harta wakaf sekadar perlu dan tidak berlebihan.
5. Harta wakaf dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama dan tidak musnah sekali digunakan.
C. RUKUN DAN SYARAT WAKAF
SYARAT-SYARAT WAKAF:
1. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Bila seseorang mewakafkan kebun untuk jangka waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf tersebut dipandang batal.
2. Tujuan wakaf harus jelas, seperti mewakafkan sebidang tanah untuk masjid dsb. Apabila seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang sah sebab penggunaan benda-benda wakaf tersebut menjadi wewenang lembaga hukum yang menerima harta-harta wakaf tersebut.
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf digantungkan dengan kematian yang mewakafkan, ini bertalian dengan wasiat dan tidak bertalian dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan wasiat.
4. Wakaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
RUKUN-RUKUN WAKAF IALAH:
1. Orang yang berwakaf (wakif)
Wakif mempunyai kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan hak milik tanpa imbalan materi. Orang dikatakan cakap bertindak tabarru adalah baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
2. Harta yang diwakafkan (mauquf)
Harta wakaf merupakan harta yang bernilai, milik waqif dan tahan lama untuk digunakan. Harta wakaf dapat berupa uang yang dimodalkan, berupa saham pada perusahaan dsb. Untuk harta yang berupa modal harus dikelola sedemikian rupa (semaksimal mungkin) sehingga mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
3. Tujuan wakaf (mauquf’alaih)
Tujuan wakaf harus sejalan dengan nilai-nilai ibadah, sebab wakaf merupakan salah satu amalan shadaqah dan shadaqah merupakan salah satu perbuatan ibadah. Harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila wakaf diperuntukkan membangun tempat-tempat ibadah umum, hendaklah ada badan yang menerimanya.
4. Pernyataan wakaf (shigat waqf)
Wakaf itu di-shigat-kan, baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan isyarat. Wakaf dipandang telah terjadi apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan Kabul dari mauquf’alaih tidak diperlukan. Isyarat hanya boleh dilakukan bagi wakif yang tidak mampu melakukan lisan dan tulisan.
D. MACAM-MACAM WAKAF
Menurut para ulama secara umum wakaf dibagi menjadi dua bagian:
1. Wakaf ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut juga wakaf keluarga atau wakaf khusus. Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang, baik keluarga wakif maupun orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan buku-buku yang ada di perpustakaan pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan. Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak menikmati harta wakaf itu adalah orang-orang yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
2. Wakaf khairi
Wakaf khairi ialah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi inilah yang benar-benar sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.
E. SYARAT-SYARAT WAKAF
Dalam wakaf terkadang wakif mensyaratkan sesuatu, baik satu maupun berbilang. Wakif dibolehkan menentukan syarat-syarat penggunaan harta wakaf, syarat-syarat tersebut harus dihormati selama sejalan dengan ajaran agama Islam. Misalnya, seseorang mewakafkan tanah untuk mendirikan pesantren khusus laki-laki, syarat seperti itu harus dihormati karena sejalan dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Apabila syarat-syarat penggunaan harta wakaf bertentangan dengan ajaran Islam, wakafnya dipandang sah, tetapi syaratnya dipandang batal. Misalnya, seseorang yang mewakafkan tanah untuk masjid jami’, dengan syarat hanya dipergunakan oleh para anggota perkumpulan tertentu, maka wakafnya dipandang sah, tetapi syaratnya tidak perlu diperhatikan.
F. MENUKAR DAN MENJUAL HARTA WAKAF
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar ra yang menceritakan tentang wakaf bahwa wakaf tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.
Perbuatan wakaf dinilai ibadah yang senantiasa mengalir pahalanya apabila harta wakaf itu dapat memenuhi fungsinya yang dituju. Dalam hal harta wakaf berkurang, rusak, atau tidak dapat memenuhi fungsinya yang dituju, harus dicarikan jalan keluar agar harta itu tidak berkurang, utuh dan berfungsi. Bahkan untuk menjual atau menukar pun tidak dilarang, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang dapat memenuhi tujuan wakaf.
Ibnu Qudamah berpendapat bahwa apabila harta wakaf mengalami rusak hingga tidak dapat membawa manfaat sesuai dengan tujuannya, hendaknya dijual saja, kemudian harga penjualannya dibelikan benda-benda lain yang akan mendatangkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf dan benda-benda yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.
G. PENGAWASAN HARTA WAKAF
Pada dasarnya pengawasan harta wakaf merupakan hak wakif, tetapi wakif boleh menyerahkan pengawasan kepada yang lain, baik lembaga maupun perorangan. Untuk menjamin kelancaran masalah perwakafan, pemerintah berhak campur tangan dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mengatur permasalahan wakaf termasuk pengawasannya.
Untuk pengawas wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat sbb:
- Berakal sehat
- Baligh
- Dapat dipercaya
- Mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hakim berhak menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan baik, pengawas wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf.
Pengawas harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat
mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan
-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat yang
ditentukan wakif.
Jaminan perwakafan di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 Pasal 49 ayat 3 yang menyatakan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan Pemerintah.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
ZAKAT
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
INFAQ
Panduan Menginfakkan Harta
Syariah telah memberikan panduan kepada kita dalam berinfak atau membelanjakan harta. Allah dalam banyak ayat dan Rasul saw. dalam banyak hadis telah memerintahkan kita agar menginfakkan (membelanjakan) harta yang kita miliki. Allah juga memerintahkan agar seseorang membelanjakan harta untuk dirinya sendiri (QS at-Taghabun: 16) serta untuk menafkahi istri dan keluarga menurut kemampuannya (QS ath-Thalaq: 7). Dalam membelanjakan harta itu hendaklah yang dibelanjakan adalah harta yang baik, bukan yang buruk, khususnya dalam menunaikan zakat (QS al-Baqarah [2]: 267).
SHODAQOH
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).
WAQAF
Wakaf (Arab: وقف, jamak: اوقاف, awqāf) adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau untuk keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar